Tuesday, December 21, 2010

Tuhan adalah Sangkan Paraning Dumadi.

(sebuah pandangan tentang Tuhan dalam kacamata Kejawen)

Ia adalah sang Sangkan sekaligus sang Paran, karena itu juga disebut Sang Hyang Sangkan Paran.
Ia hanya satu, tanpa kembaran, dalam bahasa Jawa dikatakan Gusti Pangeran iku mung sajuga, tan kinembari .
Orang Jawa biasa menyebut Gusti Pangeran artinya raja, sama dengan pengertian “Ida Ratu” di Bali.

Katanya pangeran berasal dari kata pangengeran, yang artinya tempat bernaung atau berlindung”. Sedang wujudnya tak tergambarkan, karena pikiran tak mampu mencapainya dan kata kata tak dapat menerangkannya. Didefinisikan pun tidak mungkin, sebab kata-kata hanyalah produk pikiran hingga tak dapat digunakan untuk menggambarkan kebenarannya. Karena itu orang Jawa menyebutnya tan kena kinaya ngapa ( tak dapat disepertikan).
Artinya sama dengan sebutan Acintya dalam ajaran Hindu.
Terhadap Tuhan, manusia hanya bisa memberikan sebutan sehubungan dengan peranannya. Karena itu kepadanya diberikan banyak sebutan, misalnya: Gusti Kang Karya Jagad (Sang Pembuat Jagad), Gusti Kang Gawe Urip (Sang Pembuat Kehidupan), Gusti Kang Murbeng Dumadi (Penentu nasib semua mahluk) , Gusti Kang Maha Agung (Tuhan Yang Maha Besar), dan lain-lain.
Sistem pemberian banyak nama kepada Tuhan sesuai peranannya ini sama seperti dalam ajaran Hindu:


Ekam Sat Viprah Bahuda Vadanti
Tuhan itu satu tetapi para bijak menyebutnya dengan banyak nama.


Hubungan Tuhan dengan Ciptaannya.

Dalam ajaran Kejawen dikatakan bahwa Tuhan itu menyatu dengan ciptaannya.
Persatuan antara Tuhan dan ciptaannya itu digambarkan sebagai curiga manjing warangka, warangka manjing curiga, seperti keris masuk ke dalam sarungnya, seperti sarung memasuki kerisnya.
Meski ciptaannya selalu berubah atau “menjadi” (dumadi), Tuhan tidak terpengaruh oleh perubahan yang terjadi pada ciptaannya.

Dalam kalimat puitis orang Jawa mengatakan:
Pangeran nganakake geni manggon ing geni nanging ora kobong dening geni, nganakake banyu manggon ing banyu ora teles dening banyu.
Artinya Tuhan mengadakan api, berada dalam api, namun tidak terbakar, mencipta air bertempat di air tetapi tidak basah.

Hal tersebut memiliki persamaan persepsi dengan pengertian wyapi, wyapaka dan nirwikaradalam agama Hindu. Oleh karena itu, visualisasi Tuhan sering disimbolkan sebagai bunga “teratai” atau “sekar tunjung”, yang tidak pernah basah dan kotor meski bertempat di air keruh.

Ceritera tentang Bima bertemu dengan “Hanoman”, kera putih lambang kesucian batin, dalam usahanya mencari “tunjung biru” atau “teratai biru’ adalah sehubungan dengan pencarian Tuhan. Menyatunya Tuhan dengan ciptaanNYA secara simbolis juga dikatakan kaya kodhok ngemuli leng, kaya kodhok kinemulan ing leng (seperti katak menyelimuti liangnya dan seperti katak terselimuti liangnya).
Pengertiannya sama dengan istilah immanen sekaligus transenden dalam filsafat modern, yang dalam Bhagavad Gita dikatakan DIA ada padaKU dan AKU ada padaNYA.

Dengan pengertian demikian maka jarak antara Tuhan dan ciptaannya pun menjadi tak terukur lagi.
Tentang hal ini orang Jawa mengatakan: adoh tanpa wangenan, cedhak tanpa senggolan, artinya jauh tanpa batas, dekat namun tak bersentuhan.
Dari keterangan di atas jelaslah bahwa pada hakekatnya ajaran kejawaen memiliki persamaan sudut pandang dengan ajaran Hindu, yang monotheisme pantheistis.
Karena itu pengertian Brahman Atman Aikyam, atau Tuhan dan Atman Tunggal, juga dinyatakan dengan kata-kata Gusti lan kawula iku tunggal.
Di sini pengertian Gusti adalah Tuhan yang juga disebut Ingsun, sedang Kawula adalah Atman yang juga disebut Sira, hingga kalimat Tat Twam Asi pun secara tepat dijawakan dengan kata kata “Sira Iku Ingsun” atau Engkau adalah Aku, yang artinya sama dengan kata-kata “Atman itu Brahman”.

Pemahaman yang demikian itu tentunya memungkinkan terjadinya salah tafsir, karena menganggap manusia itu sama dengan Tuhan. Untuk menghindari pendapat yang demikian, orang Jawa dengan bijak menepis dengan kata-kata ya ngono ning ora ngono, yang artinya “ya begitu tetapi tidak seperti itu”.

Mungkin sikap demikian inilah yang menyebabkan sesekali muncul anggapan bahwa pada dasarnya orang Jawa penganut pantheisme yang polytheistis, sebab pengertian keberadaan Tuhan yang menyatu dengan ciptaannya ditafsirkan sebagai Tuhan berada di apa saja dan siapa saja, hingga apa saja dan siapa saja bisa diTuhankan.

Anggapan demikian tentulah salah, sebab Brahman bukan Atman dan Gusti bukan Kawula walau keberadaan keduanya selalu menyatu. Brahman adalah sumber energi, sedang Atman cahayanya. Kesatuan antara Krisna dan Arjuna oleh para dalang wayang sering digambarkan seperti api dan cahayanya, yang dalam bahasa Jawa kaya geni lan urube

Upaya mencari Tuhan

Berdasar pengertian bahwa Tuhan bersatu dengan ciptaanNYA itu, maka orang Jawa pun tergoda untuk mencari dan membuktikan keberadaan Tuhan.

Mereka menggambarkan usaha pencariannya dengan memanfaatkan sistim simbol untuk memudahkan pemahaman. Sebagai contoh pada sebuah kidung dhandhanggula, digambarkan sebagai berikut:

Ana pandhita akarya wangsit,
kaya kombang anggayuh tawang,
susuh angin ngendi nggone,
lawan galihing kangkung,
watesane langit jaladri,
tapake kuntul nglayang lan gigiring panglu...

Di sini jelas bahwa sesuatu yang dicari itu adalah susuh angin (sarang angin), ati banyu (hati air), galih kangkung (galih kangkung), tapak kuntul nglayang (bekas burung terbang), gigir panglu (pinggir dari globe), wates langit (batas cakrawala), yang merupakan sesuatu yang tidak tergambarkan atau tidak dapat disepertikan.

Dengan pengertian sesuatu yang tak tergambarkan, itu mereka ingin menyatakan bahwa hakekat Tuhan adalah sebuah kekosongan, atau suwung, Kekosongan adalah sesuatu yang ada tetapi tak tergambarkan. Semua yang dicari dalam kidung dhandhanggula di atas adalah kekosongan Susuh angin itu kosong, ati banyu pun kosong, demikian pula tapak kuntul nglayang dan batas cakrawala.

Jadi hakekat Tuhan adalah kekosongan abadi yang padat energi, seperti areal hampa udara yang menyelimuti jagad raya, yang meliputi segalanya secara immanen sekaligus transenden, tak terbayangkan namun mempunyai energi luar biasa, hingga membuat semua benda di angkasa berjalan sesuai kodratnya dan tidak saling bertabrakan. Sang kosong atau suwung itu meliputi segalanya, suwung iku anglimputi sakalir kang ana. Ia seperti udara yang tanpa batas dan keberadaannya menyelimuti semua yang ada, baik di luar maupun di dalamnya.

Karena pada diri kita ada Atman, yang tak lain adalah cahaya atau pancaran energi Tuhan, maka hakekat Atman adalah juga kekosongan yang padat energi itu.

Dengan demikian apabila dalam diri kita hanya ada Atman, tanpa ada muatan yang lain, misalnya nafsu dan keinginan, maka energi Atman itu akan berhubungan atau menyatu dengan sang sumber energi. Untuk itu yang diperlukan dalam usaha pencarian adalah mempelajari proses “penyatuan” antara Atman dengan Brahman itu.

Logikanya, apabila hakekat Tuhan adalah kekosongan maka untuk menyatukan diri, maka diri kita pun harus kosong, sebab hanya yang kosonglah yang dapat menyatu dengan sang maha kosong. Caranya dengan berusaha mengosongkan diri atau membersihkan diri dengan menghilangan muatan-muatan yang membebani Atman yang berupa berbagai nafsu dan keinginan.




padmasana

Apabila kekosongan merupakan hakekat Tuhan, apakah Padmasana, yang di bagian atasnya berbentuk kursi kosong, dan dianggap sebagai simbol singgasana “Sang Maha Kosong” itu adalah perwujudan dalam bentuk lain dari apa yang dicari orang Jawa lewat kidung-kidung kuna itu? Apa sebabnya di Jawa tidak ada dan baru diwujudkan dalam bentuk bangunan ketika leluhur Jawa berada di Bali? Mungkin saat itu di Jawa memang tidak membutuhkan hal itu, karena masyarakat Jawa lebih mementingkan pemujaan leluhur, yang dianggap sebagai pengejawantahan Tuhan. Kata-kata Wong tuwa iku Pangeran katon atau Orang tua (leluhur) itu Tuhan yang nampak, adalah bukti adanya kepercayaan tersebut. Itulah sebabnya di Jawa tidak ditemukan Padmasana, tetapi lingga yoni. Baru setelah runtuhnya kerajaan Majapahit, Padmasama mulai ada di Bali. Konon sementara sejarawan berpendapat bahwa Padmasana adalah karya monumental Danghyang Dwijendra, seorang Pandita Hindu yang pindah dari Jawa ke Bali, setelah jatuhnya Kerajaan Majapahit.
.
Sebenarnya tujuan umat Hindu ketika bersembahyang di pura, adalah untuk menjalani proses penyatuan diri dengan Tuhan dengan melaksanakan yoga secara sederhana.

Karena itu setiap sembahyang tentu diawali dengan pranayama yang merupakan salah satu cara untuk mengosongkan diri dengan mengatur irama pernafasan.
Hasil minimal yang dicapai adalah mempertenang diri ketika memuja Tuhan dengan bersimpuh di hadapan Padmasana, yang diyakini sebagai tahta Sang Hyang Widhi.

Ketika memuja itulah mereka berusaha mengosongkan diri dengan berkonsentrasi untuk menyatukan diri dengan Sang Maha Kosong. Dengan demikian mereka berharap dapat menyatu dalam rasa, yaitu rasa damai sebenarnya.

Menurut orang Jawa, apabila tujuan samadi itu berhasil, terdapat tanda-tanda khusus. Konon, ketika puncak keheningan tercapai, orang serasa terjun ke suasana heneng atau sunya, tenggelam dalam suasana kedamaian batin sejati, rasa damai yang akut, yang dikatakan manjing jroning sepi, atau rasa damai yang tak terkatakan.

Suasana demikian terjadi hanya sesaat, yang oleh orang Jawa digambarkan secara indah dengan kata-kata tarlen saking liyep layaping aluyup, pindha pesating supena sumusup ing rasa jati (ketika tiba di ambang batas kesadaran, hanya seperti kilasan mimpi, kita seolah menyelinap ke dalam rasa sejati).

Di sini makna kedamaian adalah kekosongan sejati di mana jiwa terbebas dari beban apa pun, yang diistilahkan dengan suasana hening heneng atau kedamaian sejati.

Mungkin suasana demikian itulah yang dalam agama Hindu disebut sukha tan pawali dukha. Kebahagian abadi yang tanpa sedikitpun rasa duka. Terbebas dari hukum rwa bhinneda.
.
Kini masalahnya adalah siapa saja yang terlibat dalam proses penyatuan tersebut? Pertanyaan ini akan dijawab dengan tegas bahwa Sang Atmanlah diminta membimbingnya. Atman adalah cahaya Brahman, Ia Maha Energi yang ada pada diri setiap manusia, karena itu oleh orang Jawa diberi sebutan Pangeraningsun atau Tuhan yang ada dalam diriku.

Karena itulah ketika kita mengawali proses kramaning sembah dengan pertama-tama menyebut OM Atma Tattvatma, orang Jawa menganggapnya sebagai ganti dari kata-kata Duh Pangeraningsun, yang sebelumnya amat dikenal.

Namun sebelum Atman kita jadikan kawan utama dalam usaha penyatuan itu, terlebih dulu kita harus yakin bahwa ia adalah energi luar biasa. Kehebatan energi Atman itu secara simbolis digambarkan sebagai berikut: Gedhene amung sak mrica binubut nanging lamun ginelar angebegi jagad,

artinya: Ia hanya sebesar serbuk merica, namun bila dikembangkan (triwikrama) seluruh jagad raya akan tergenggam olehnya. Pengertian energi ini dalam istilah Jawa disebut “geter”. Namun untuk memanfaatkannya orang harus mengenalnya lebih jauh.
.
Lebih lanjut ajaran ini menyebutkan bahwa pada diri manusia pun terdapat 4 (empat) kekuatan yang selalu menjadi kawan dalam perjalanan hidup, di saat suka maupun duka, hingga layak disebut “saudara”. Masing-masing ditandai dengan simbol warna putih, merah, kuning dan hitam (catur sanak). Posisi mereka di dalam jiwa manusia adalah lekat dengan Atman, membuat cahayanya membentuk warna “pelangi”.

Gradasi warnanya menunjukkan kadar karma wasana seseorang. Konon peranan mereka amat menentukan. Karena itu mereka harus selalu diperhatikan dan dipelihara, sebab bila ditinggalkan dan tak terurus, akan menjadi pengganggu yang amat berbahaya.


Pada dasarnya proses penyatuan (meditasi) itu dimaksudkan sebagai usaha memperpendek jarak antara Manusia dengan Tuhan, antara Sira dengan Ingsun, atau antara Brahman dengan Atman, yang dalam istilah Jawa disebut ngudi cinaket ing Widhi, artinya berusaha agar semakin dekat dengan Tuhan (caket=dekat).

Di sini jelas bahwa pemanfaatan energi Atman mutlak perlu, tetapi ternyata sebagian orang ada yang tidak mengetahui bahwa pada diri kita ada Atman, Sang Maha Energi itu. Mungkin karena dasar filsafatnya memang berbeda. Kepada mereka, yang tidak mempercayai adanya Atman itu:

Apek banyu pikulane warih,
apek geni dedamaran,
kodhok ngemuli elenge,
tanpa suku lumaku,
tanpa una lan tanpa uni,...

Artinya terlihat ada orang mencari air, padahal ia telah memakai air sebagai pikulan, dan ada yang mencari api, padahal telah membawa lentera, katak menyelimuti liangnya, tanpa kaki ia berjalan, tanpa rasa dan tanpa suara,...

Rupanya mereka tidak mengerti bahwa Gusti dan Kawula Tunggal, hingga tidak menyadari bahwa yang dicari sebenarnya telah ada dalam dirinya sendiri, meski dengan nama yang berbeda. Mereka tidak tahu bahwa warih adalah air dan damar adalah api, sama halnya dengan Atman adalah Brahman.

Ia immanen sekaligus transenden, ia bisa berjalan tanpa kaki, dan tanpa suara maupun rasa. Pendapat bahwa Brahman sama dengan Atman, oleh orang Jawa ditunjukkan dengan perkataan kana kene padha bae artinya sana dan sini sama saja.

Ketidaktahuanlah yang menyebabkan orang kebingungan. Sebuah canda sederhana namun menyengat.

Kalender